Saturday, December 26, 2009

Omzet Ratusan Juta dari Manisan Jambu Bangkok

KOMPAS.com - Kalau kebetulan sedang berkunjung ke Medan, Anda bakal menemukan banyak penjual manisan jambu bangkok. Makanan ini merupakan salah satu oleh-oleh favorit khas kota Medan. Maklum, warna hijau cerah manisan ini menggoda. Rasanya pun yahud, apalagi jika dicocol ke bumbu rujak.

Lantaran banyaknya penggemar manisan jambu bangkok, para pengusaha pun berlomba mengejar peruntungan dari bisnis pembuatan dan penjualan manisan ini. Tak hanya di Medan, bisnis manisan jambu biji ini juga cukup marak di daerah lain.

Salah satu pemain di luar Medan yang sukses adalah Daniel Andijaya. Daniel adalah pemilik Trinity, perusahaan pengolah manisan jambu bangkok di Jakarta, yang dia dirikan 2003 silam. Ide Daniel berbisnis manisan jambu bangkok muncul saat ia kangen mencicipi makanan khas Medan itu. “Saya dulu sempat kuliah di Medan,” terangnya. Tapi, dia tidak bisa menemukan makanan itu di Jakarta.

Ia pun lantas nekad mulai berbisnis manisan jambu bangkok. Untuk memodali usahanya itu, Daniel mengorek isi tabungannya. Modal itu ia belikan jambu bangkok dari Cilebut, yang kemudian diolahnya menjadimanisan.

Lalu dia menitipkan penjualan manisan buatannya itu di toko buah milik temannya. Tak disangka, manisan jambu bangkok olahan Daniel laris manis. Maklum, saat itu belum ada pesaing. Bisnis manisan jambu bangkok Daniel berkembang pesat. Bahkan, dia mendapat tawaran memasok produknya di dua jaringan ritel modern besar.

Seiring meningkatnya permintaan, petani jambu bangkok di Cilebut kewalahan memenuhi permintaan Daniel. Itu sebabnya Daniel kemudian memasok jambu biji dari Medan. “Di Medan pasokan stabil, karena kebunnya luas,” papar Daniel.

Kapasitas produksi Trinity memang meningkat pesat. Jika di awal berdiri, Daniel hanya mengolah ratusan kilogram jambu per bulan, kini dia bisa mengolah 30 ton jambu per bulan. Untuk produksi sebanyak ini, Daniel kini mempekerjakan 15 karyawan. Untuk menghasilkan manisan yang sedap, Daniel hanya menggunakan jambu yang tingkat kematangannya 70 persen. Dia menambahkan, jambu yang matang tidak enak dijadikan manisan.

Sebelum dijadikan manisan, jambu dikupas dan dibuang bijinya terlebih dulu. Setelah itu, jambu bangkok dipotong-potong dan direndam dalam air daun suji agar warna hijaunya semakin menyala. Daniel mengemas manisan jambu bangkok menjadi kemasan seberat 7 ons-8 ons. Tak lupa, dia menambahkan bumbu rujak. Daniel menjual manisan tersebut dengan harga Rp 9.000 - Rp 10.000 per emasan ke toko. “Harga jual ke konsumen tergantung toko,” jelasnya.

Daniel mengaku meraup omzet Rp 200 juta setiap bulan dari usaha manisan ini. Pria berusia 39 tahun ini mengaku hanya mengambil margin sebesar 5 persen dari harga jualnya. Cuma, sejak masuk tahun 2009, bisnis penjualan manisan jambu bangkok Daniel tidak terlalu bagus. Penjualan manisan jambu menurun. Dia terpaksa mengurangi pasokan manisan di beberapa gerai ritel modern. “Itu sengaja saya lakukan, kalau tidak saya bisa rugi Rp 6 juta per bulan,” tuturnya.

Pasalnya, selain karena permintaan berkurang, manisan jambu juga termasuk makanan yang tidak tahan lama. Kalau lama tak terjual atau mesin pendingin di toko tidak bagus, manisan jambu akan rusak. Kalau sudah begitu, manisan jambu terpaksa dibuang sebelum terjual. (Aprillia Ika/Kontan)

Sumber: kompas.com

Franchise Makanan, Pilihan Berbisnis di Indonesia

Franchise Makanan, Pilihan Berbisnis di Indonesia

HONG KONG, KOMPAS.com - Besarnya populasi penduduk di Indonesia sekitar 234 juta orang membuat Indonesia selalu dilirik oleh kalangan pengusaha dunia, terutama usaha makanan.

Dalam seminar bertajuk 'ASEAN-An Important Growth Engine in Asia' di rangkaian World Small-Medium Enterprise (SME) Hong Kong, Jumat (4/12), Kepala Departemen Hubungan Internasional Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (APRINDO) Anthony Suryakusuma mengatakan usaha retail makanan di Indonesia terus berkembang sehingga menjadi peluang yang menjanjikan bagi pengusaha internasional, termasuk Hong Kong. "Penetrasi retail makanan modern 20 persen dan akan terus berkembang," ujarnya.

Menurut Anthony, hal ini didukung oleh fakta bahwa Foreign Direct Investment (FDI) terbesar selama 10 tahun adalah mineral, energi dan makanan. Anthony menunjukkan pasar Carrefour, Hero, dan minimarket sebagai retail makanan modern yang perkembangannya mencengangkan. Ia menambahkan para investor dapat menggunakan sistem franchise untuk mencoba peruntungan bisnis retail makanan di Indonesia. "Franchise mungkin menjadi pilihan yang baik karena regulasi cukup mendukung," lanjutnya.

Menurut data APRINDO, saat ini terdapat 8.500 outlet yang ada di Indonesia, terdiri dari 7.650 minimarket, 435 supermarket, 130 hypermarket, dan 285 department store.

Jawa Bisa Jadi Pilihan

Di depan forum, Anthony dengan jujur mengatakan bahwa populasi terbesar Indonesia ada di Pulau Jawa. Selain itu, infrastruktur di pulau ini, terutama Jakarta, adalah yang terbaik dibanding wilayah lain.

Menjawab pertanyaan sejumlah pengusaha soal kota lain pun, Anthony mengatakan mereka bisa berpikir mengembangkan bisnis di Surabaya, Medan, Makassar dan Denpasar.

"Tapi saat berbisnis, pastikan siapa yang mau kau pilih jadi partner. Kau harus memilih partner terbaik karena akan memfasilitasimu dengan baik untuk memilih jalan dengan hasil yang efisien," tegasnya.


Sumber: KOMPAS.com Caroline Damanik

Wednesday, August 5, 2009

Kisah Sukses

Kisah Sukses Muhadi Menjadi Pengusaha Bus PO Dedy Jaya

Dulu Kondektur Sekarang Juragan

Lewat kerja keras dan keuletan, Muhadi sukses menjadi pengusaha bus Dedy Jaya. Ia merintis usahanya dari berdagang es lilin serta menjadi kondektur bus. Kini bisnisnya sudah menggurita, mulai dari hotel, pabrik cat, mal, hingga toko bangunan.

Soal nasib urusan belakang. Itulah pegangan hidup Muhadi Setiabudi, konglomerat asal Brebes, Jawa Tengah. Kerja kerasnya selama sekitar 19 tahun kini membuahkan hasil. Grup usaha PT. Dedy Jaya Lambang Perkasa yang berdiri sekitar 15 tahun silam, kini menjelma menjadi kerajaan bisnis dengan 2.500 karyawan. Lini usahanya juga sungguh beragam luas, mulai dari mengelola ratusan armada di bawah bendera perusahaan otobus (PO) Dedy Jaya, hotel, pabrik cat, toko bahan bangunan, toko emas, hingga bisnis mal di Brebes, Tegal & Pemalang. "Nasib itu urutan kesekian. Siapa pun yang bekerja keras pasti bisa berhasil," ucap lelaki kelahiran Brebes, Maret 1961 ini mantap.

Muhadi tentu tidak asal omong. Boleh dibilang pria yang hanya menamatkan pendidikan madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) dari sebuah pesantren di Cirebon ini, benar-benar sudah membuktikannya. Maklum, kerajaan bisnisnya itu ia rintis dengan susah payah dan bukan terima menjadi dari warisan. "Saya benar-benar mulai dari nol besar," tandas bapak tiga anak ini.

Merintis Sukses Dari Berdagang Bambu

Simak saja kisahnya. Muhadi muda sempat melakoni pekerjaan kasar seperti berdagang es lilin di kampung, menjadi kondektur bus, serta berjualan minyak tanah. Pekerjaan itu ia jalani hingga 1979 atawa sekitar lima tahun sejak menamatkan pendidikan menengah. Di saat senggang, ia juga ikut membantu ayahnya bertani di sawah.

Jalan terang agaknya mulai terbentang setelah Muhadi menikahi Atik Sri Subekti pada 1981. "Waktu itu umur saya baru 19 tahun, tapi saya nekat menikah," tuturnya mengenang. Nasibnya berubah bukan karena dia menikahi anak konglomerat. Sebaliknya, mungkin karena kian terdesak harus membiayai keluarga barunya, dia tak bisa lagi menyandarkan penghasilan dari kerja serabutan itu.

Maka, Muhadi mulai menerjuni usaha dagang bambu dengan modal awal sekitar Rp 50.000. Modal ini ia kumpulkan dari upah membantu orang tuanya di sawah. "Usaha ini masih saya pertahankan sampai sekarang karena ia adalah cikal bakal semua usaha yang tidak bisa saya lupakan," tutur Muhadi.

Guratan sukses Muhadi tampaknya memang sudah terukir di bambu. Sebab, jerih payahnya berjualan bambu tersebut menuai hasil lumayan. Apalagi beberapa pesanan dalam jumlah besar juga mulai berdatangan. Misalnya, dia sempat mendapat order dari sebuah kontraktor bangunan untuk menyuplai ribuan batang. Untungnya meningkat, dari sekitar Rp 70.000 sebulan menjadi Rp 470.000 saban bulan.

Selain mendapat order, ada berkahnya juga Muhadi bergaul dengan para kontraktor itu. Ia jadi mulai mafhum tentang seluk-beluk usaha bahan bangunan. Dua tahun setelah berdagang bambu, Muhadi lantas mendirikan toko bahan bangunan dengan modal yang ia kumpulkan dari untung berdagang bambu. "Kekurangannya saya pinjam dari bank," ucapnya terus terang.

Rupanya pilihan Muhadi melebarkan sayap ke bisnis bahan bangunan sungguh tepat. Karena usaha barunya itu benar-benar menjadi tambang emas yang tiada henti mengalirkan untung. Bahkan, tujuh tahun setelah berkutat di material, keuntungannya dari berjualan bahan bangunan sudah bisa menjadi modal untuk membeli beberapa bus besar. Muhadi seperti terobsesi berusaha di jasa sarana angkutan. Boleh jadi selain meraup untung dari jasa ini, dia ingin mengenang masa sulitnya menjadi kondektur.

Kini, jumlah armada busnya yang berbendera PO Dedy Jaya sudah mencapai ratusan unit. Penumpang asal Pantura, Tegal, Pekalongan, dan Purwokerto yang hendak ke Jakarta tentu sudah tak asing lagi dengan bus ini. Maklum, Dedy Jaya melayani trayek Jakarta-Purwokerto, Jakarta-Tegal, dan Jakarta-Pemalang-Pekalongan. Ia mencomot nama untuk bus serta grup usahanya dari nama anak pertamanya, Dedion Supriyono. Selain menggeluti bus, Muhadi juga mulai merambah ke toko emas dan bisnis perkayuan.

Masih Muda Sudah Kaya Raya

Konglomerasi bisnis Muhadi tak berhenti sampai di situ saja. Ia pun mulai melirik bisnis pusat perbelanjaan lantaran melihat peluang yang masih terbuka lebar di Tegal. Selain itu, "Saya ingin menjadi pelopor pengembang pribumi, daripada peluang itu diambil developer dari luar," ucapnya.

Alhasil, berdirilah Mal Dedy Jaya pada 1998, yang kini menjadi pusat perbelanjaan termegah di kota warteg itu. Tak puas mendirikan mal, Muhadi lantas menerjuni pula bisnis perhotelan. Dua tahun berselang setelah membangun mal itu, ia juga membangun dua hotel berbintang sekaligus. Satu di Tegal dan satunya lagi di Brebes.

Sepak terjang Muhadi boleh dibilang mencengangkan karena ia membangun kerajaan bisnis itu saat usianya baru menginjak 31 tahun. Tak heran jika ia mendapat banyak penghargaan berkat keuletannya tersebut. Ini bisa dilihat dari tiga buah lemari besar yang penuh berisi berbagai penghargaan. Yang paling membanggakan Muhadi, dia pernah terpilih menerima penghargaan upakarti dari presiden. "Saya bangga, karena saya ini cuma orang desa," tuturnya merendah.

Muhadi tak memungkiri bahwa perkembangan bisnisnya ini tak lepas dari peran bank yang mengucurinya kredit. Tentu saja tak serta-merta bank mau mengucurkan pinjaman ketika usahanya belum sebesar sekarang. Kendati sekarang utangnya masih lumayan besar, dia mengaku tak risau ataupun malu. "Saya baru malu kalau tak bisa membayar," tegasnya.

Begitulah, kerja kerasnya kini sudah membuahkan hasil. Toh, ia tak lantas puas dengan hasil yang sudah ia peroleh. Muhadi juga tak lantas bermewah-mewah dengan hasilnya selama ini. Kantornya pun sederhana. Hanya sebuah ruang seluas 24 m2 di salah satu sudut rumahnya di Jalan Raya Cimohong, Bulakamba, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Brebes. Toh, dari kota kecil inilah Muhadi mengendalikan bisnisnya yang sudah menggurita.

Menggulung Layar Hiburan dan Kapal Ikan

Sudah lumrah setiap ada senang pasti ada susah. Kalau tidak untung ya rugi. Demikian pula dengan bisnis yang dijalani Muhadi. Tidak semua usahanya berjalan mulus dan menjadi tambang duit yang berlimpah. Salah satu usahanya yang terpuruk adalah bioskop Dedy Jaya di Tegal. Semula bioskopnya sempat menjadi maskot dan sasaran hiburan warga Tegal. Namun, usaha itu menjadi berantakan akibat membanjirnya video compact disc (VCD) bajakan yang murah meriah. Bioskopnya menjadi sepi pengunjung dan pemasukannya makin seret hingga berbuntut rugi. Tak heran Muhadi lantas melego bisnis tontonannya itu.

Selain bioskop, bisnis kapal ikannya pun terpaksa gulung tikar. Itu terjadi akibat sengitnya persaingan di Tegal serta belitan krisis moneter pada 1997 hingga 1998. Padahal, kala itu usaha Muhadi baru mulai berbiak dan membutuhkan dana besar untuk mengembangkannya. Sayang, ketika itu tak ada bank yang berani mengucurkan kredit. Muhadi mengaku hampir menyerah saat itu lantaran imbasnya begitu dahsyat menerpa usahanya. "Berat sekali waktu itu. Ternyata lebih mudah merintis ketimbang mempertahankan usaha yang sudah ada", kenang Muhadi.

sumber: http://adibmunajib.blogspot.com/2009/01/kisah-sukses-muhadi-menjadi-pengusaha.html

Tuesday, July 28, 2009

LULUS KULIAH CARI KERJA ATAU BERWIRAUSAHA

Kemaren siang saya dan teman-teman dosen makan siang di di gudeg wijilan Ny. Yetti di jalan Kusumawardani, sambil nunggu makan siang dihidangkan iseng-iseng saya liat kartu nama yang tersedia di atas meja, ...wow ternyata Ny. Yetti sudah punya 5 cabang di Kota Semarang. Saya bilang sama teman sebelah:"Satu warung gudeg ini saja penghasilan Ny. Yetti sudah mengalakan penghasilan kita sebagai dosen, apalagi dengan punya 5 warung gudeg, bayangkan...!". Sangat menggiurkan untuk berwirausaha.

Pada waktu yang bersamaan lebih dari 300 mahasiswa saya di Fakultas Ekonomi Undip diwisuda menjadi sarjana, Sarjana Ekonomi (SE). Mereka ini akan meramaikan pasar tenaga kerja di Indonesia, bersaing untuk mendapatkan pekerjaan, di lain pihak masalah lapangan pekerjaan dan pengangguran adalah masalah nasional yang tidak perna terselesaikan. Pertumbuhan lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan pertumbuhan pencari kerja. Di kelas ketika kuliah saya selalu katakan kepada mahasiswa bahwa tingkat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin tinggi, ketika anda lulus dan berusaha untuk mendapatan pekerjaan maka pesaing anda bukan hanya teman sesama angkatan tetapi ditambah juga dengan lulusan-lulusan periode-periode sebelum anda yang belum terserap oleh dunia kerja. Mengapa anda tidak berfikir dari sekarang untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.

Saya teringat berita di koran dan di TV beberapa waktu belakangan ini, dimana ketika dibuka pameran lowongan pekerjaan selalu dipadati oleh para pencari kerja. Gambar dari www.muhammadnoer.com di samping cukup menggambarkan hal itu. Ribuan para pencari kerja memperebutkan 1 atau 2 lowongan yang tersedia, ibarat segerombolan semut mengerubuti butiran gula yang jatuh. Menurut saya ini sebuah ironi, ironi yang diciptkan oleh sistem pendidikan kita, yang saya juga ikut andil didalamnya...he he he.

Para mahasiswa ku para generasi muda, kutipan tulisan dari http://www.wiramuda.com/ dibawah ini mungkin bisa menggugah Anda...

Mau jadi orang kaya? Mau cepat mendapat pekerjaan? Mau memberi lapangan kerja ke temen-temen kamu?

Jawabannya cuma satu: KAMU HARUS JADI WIRAUSAHA! Ya, jadi wirausaha karena kamu nantinya akan punya sebuah bisnis yang bisa memperkerjakan teman-temanmu, bekerja untuk pertumbuhan bisnismu sendiri, dan tentu saja kalau kamu pandai mengelola usahamu, KAYA bukan lagi impian!
So, mau apa lagi? Berarti gak ada jalan lain khan kecuali menjadi pemilik usaha sendiri... Sebenarnya, menjadi pemilik usaha sendiri memiliki banyak sekali manfaat.

Pertama, kamu-lah yang membentuk masa depanmu sendiri lewat apa yang akan kamu kerjakan di perusahaan kamu sendiri.

Kedua, kamu bisa mengatur kehidupanmu dengan lebih bebas. Memiliki perusahaan sendiri berarti jam kerjamu bisa kamu atur sendiri, tidak terpancang seperti halnya menjadi karyawan. Tetapi, tetap aja disiplin menjadi nomor wahid kalau usahamu pingin berkembang dan bisa membesar terus...

Ketiga, kamu bisa lebih bebas berkreasi. Coba deh kamu pikirkan kalau kamu jadi karyawan? Kreativitasmu pasti akan dibatasi oleh serangkaian aturan perusahaan atau izin dari bosmu sendiri. Kalau punya perusahaan sendiri, kamu bakal bisa menyalurkan kreativitas untuk bisnismu sendiri sesuka hatimu. Semakin kreatif kamu, usahamu juga bakalan bisa maju. Yang mengaturmu hanyalah mekanisme pasar, kamu harus berpikir kalau kreativitasmu bisa diterima pasar!

Keempat, kamu bisa memberi lapangan pekerjaan yang sudah semakin sempit. Kalau usahamu mau berkembang, kamu harus rela untuk bisa berbagi tugas dengan orang lain. Tidak mungkin semua pekerjaan akan bisa kamu tangani sendiri tanpa kehadiran orang lain. Jadi, setiap wirausaha pasti memberikan kesempatan kepada orang lain untuk bisa berkarya bersama kamu. Top abis gak tu??

Kelima, kamu bisa lebih nyata berbuat untuk bangsa dan negara. Kayaknya yang satu ini memang rada muluk-muluk, tapi percayalah dengan menjadi pemilik usaha mandiri, kamu akan bisa lebih banyak berbuat untuk bangsa dan negara. Pertama, kamu pasti nantinya akan menjadi wajib pajak dan membayar pajak atas penghasilan usahamu. Kedua, kamu memberi tambahan lapangan pekerjaan walaupun hanya untuk seoran saja. Ketiga, kamu juga bisa memberi inspirasi ke orang lain-yang lebih banyak lagi-untuk semakin mau menjadi wirausaha... Berarti kamu khan bakal memberikan kontribusi ke negara yang lebih besar lagi khan?

So, mengapa harus bingung? Tetapkan hati, jadilah WIRAUSAHA saat ini juga!

Bumi Wanamukti 28 Juli 2009 jam 10.48 pm

Harjum Muhram